Adoniram Judson

“Pergi ke Myanmar pada usia 24 tahun, melayani disana selama 38 tahun dan hanya satu kali pulang kampung. Judson menjadi benih yang jatuh ke tanah dan mati. Saat ini, ada sekitar 3700 jemaat dengan 617.781 anggota dan 1.9 juta afiliasi. Buah dari sebuah benih yang mati.”

9 Agustus 1788 menjadi salah satu hari bersejarah bagi negara Burma (Myanmar). Hari itu, seorang bayi yang akan membawa injil sampai ke Burma dilahirkan. Adoniram Judson, Sr. dan Abigail dianugerahi seorang anak laki-laki yang kemudian mereka beri nama Adoniram Judson Jr. Tidak ada yang berpikir bahwa anak ini akan menjadi misionaris pertama yang pergi ke negara penyembah berhala. Masa muda Judson begitu luar biasa, ayahnya seorang yang pendeta, mendidik Judson dalam jalan-jalan Allah, bahkan memasukkan Judson muda ke sebuah universitas Brown, yang mengajarkan nilai-nilai Firman Tuhan. Judson muda adalah seorang yang begitu pintar dan berbakat. Semua berjalan dengan baik sampai ia bertemu dengan seorang teman bernama Jacob Eames, yang akhirnya membawa Judson menjadi pribadi yang tidak lagi percaya kepada Kristus. Judson kemudian pergi ke New York untuk mencari pekerjaan. Namun, ia hanya beberapa minggu disana. Di dalam perjalanan kembali dari New York, Judson menginap di sebuah penginapan. Namun, malam itu begitu tidak tenang, ada seseorang di kamar sebelahnya yang sedang sakit keras dan sekarat. Pikirannya begitu terganggu malam itu, sulit bagi Judson untuk tidur, ia terbayang akan kematian yang bisa saja terjadi padanya dan ia belum siap akan hal tersebut. Keesokan harinya, Judson bertanya kepada pemilik penginapan mengenai kondisi anak muda yang sekarat kepada pemilik penginapan. “Ia telah meninggal dunia.” “Apakah anda tahu siapakah dia itu?” “Oh iya. Ia adalah anak muda dari Brown University, namanya adalah Eames, Jacob Eames.” Ya, itu adalah nama teman yang membawa Judson untuk tidak percaya Tuhan. Pikiran Judson begitu kacau hari itu. Ia memikirkan semua teori yang disampaikan temannya. Di satu sisi, ia juga memikirkan Allah ayahnya hingga ia sampai pada satu pikiran bahwa tidaklah kebetulan Eames meninggal di sebelah kamarnya, itu tidak mungkin kebetulan. Ia segera berkuda untuk pulang kembali ke rumahnya. Ia masuk ke Andover Theological Seminary bulan Oktober, sebagai mahasiswa khusus, bukan calon hamba Tuhan karena saat itu, ia belum bertobat. Namun, pembelajarannya pada alkitab akhirnya membawa Judson kepada pertobatan yang sejati. Ia menjadi manusia yang baru, berhenti dari semua mimpi masa mudanya dan pergi melayani Tuhan sebagai misionaris.

Judson bertemu dengan Ann Hasseltine pada tanggal 28 Juni 1810, di sebuah kongres untuk pelayanan misionaris di Timur. Ia jatuh cinta pada Ann, dan Judson menulis sebuah surat untuk ayah Ann: “Saya kini harus bertanya, relakah anda berpisah dengan putri anda di awal musim depan dan untuk tidak melihatnya lagi di dunia ini; dapatkah anda merelakan kepergiannya dan pengabdiannya pada kehidupan misonaris yang sengsara dan menderita; dapatkah anda menerima betapa dekatnya ia dengan bahaya yang mengancam di samudera, pengaruh iklim selatan India yang mematikan, penganiayaan, dan mungkin kematian yang mengenaskan . Dapatkan anda merelakan semua ini, demi Yesus yang telah meninggalkan rumah surgawi-Nya, dan mati bagi putri anda dan anda sendiri; demi jiwa-jiwa abadi yang nyaris binasa; demi Sion dan demi kemuliaan Allah? Dapatkah anda menerima semua ini, dengan harapan untuk segera menjumpai putri anda di dunia kemuliaan, dengan bermahkotakan kebenaran?” Mereka menikah di pada tanggal 5 Februari 1812 dan mereka berdua berangkat misi 12 hari kemudian.

19 Februari 1812 menjadi hari bersejarah lainnya bagi negara Burma. Itulah hari dimana Adoniram dan Ann Judson berlayar dari Cape Cod, Massachusetts menuju India dan berlanjut menuju ke Burma. Di India, ia bertemu William Carey yang mengatakan padanya untuk tidak pergi ke Burma, sebuah Negara yang begitu tertutup, dipenuhi anarkisme, peperangan sengit, pemberontakkan dan tanpa toleransi beragama. Semua misionaris yang kesana sebelumnya meninggal dunia.  Namun pada akhirnya ia masuk ke Burma pada bulan Juli 1813, di usia 24 tahun.

Kehidupannya selama di Burma bukanlah kehidupan yang mudah. Ia harus kehilangan ketiga anak yang dilahirkan oleh Ann. Anak pertama, meninggal saat dilahirkan, belum sempat diberi nama, meninggal pada saat berlayar dari India ke Burma. Anak kedua, Roger Williams Judson hanya berumur 17 bulan, kemudian meninggal. Anak ketiga, Maria Elizabeth Butterworth Judson, juga meninggal 6 bulan setelah ibunya meninggal dan satu hal yang membuat Judson bisa tetap teguh adalah sebuah keyakinan bahwa Allah berdaulat dan Allah itu baik dan semua yang berasal dari tangan Allah adalah untuk kebaikan. Ia sampai di Rangoon, dan pertempurannya dimulai. Melawan suhu 108 derajat Fahrenheit dengan malaria, kolera, disentri, dan kesengsaraan tidak terduga yang merenggut dua istri Judson (Judson menikah sebanyak 2 kali lagi setelah Ann meninggal) dan tujuh dari 13 anaknya dan rekan-rekan sepelayanannya. Adoniram tidak pernah lagi melihat ayahnya, ibunya, dan saudara kandungnya. Ia tidak pulang selama 33 tahun. Bahkan di masa pelayanannya di Burma, Ann menderita penyakir keras yang mengharuskan Ann untuk pulang ke negara asal mereka. Ann tidak berada di Burma sejak 21 Agustus 1821 – 5 Desember 1823. Untuk seseorang yang menikah dan begitu mencintai istrinya, kejadian ini adalah hal yang sangat berat. Adoniram harus menemukan bahwa sukacita terbesarnya di dalam Tuhan. Namun dibalik bencana ini, Tuhan memberikan kemurahan pada mereka. Setelah sembuh, Ann menulis sebuah buku yang berdampak begitu besar terhadap rekrut, doa, dan keuangan misi, ini hal yang tidak terjadi apabila ia tidak sakit.

Dalam semua pergumulan dengan penyakit dan interupsi lain, Judson belajar bahasa, menerjemahkan alkitab, melakukan penginjilan di jalanan dan orang pertama yang ia baptis (Maung Nau) dilakukan 6 tahun setelah mereka tiba (tahun 1819). Tahun 1823, Adoniram dan Ann pindah dari Rangoon ke Ava. Dan pada 8 Juni 1824, ia dipenjara karena dikira seorang mata-mata kakinya dibelenggu, dinaikkan, digantung terbalik, sehingga hanya pundak dan kepalanya yang menyentuh tanah. Ann yang sedang hamil harus berjalan 2 mil setiap hari untuk menjelaskan tentang Judson. Para tawanan menerima makanan yang sudah basi, tubuh Judson menjadi begitu kurus. Maria, anak mereka lahir, Ann harus menyusui Maria. Sempat ada kondisi dimana air susu Ann menjadi kering. Kehidupan mereka begitu sulit. Tanggal 4 November 1825, secara tiba-tiba Judson dilepaskan. Pemerintah memerlukan Judson sebagai penerjemah untuk melakukan negosiasi dengan Inggris. 17 bulan di penjara dan begitu dekat dengan kematian. Kesehatan Ann dikorbankan untuk mengurus Judson dan Maria. Ann meninggal 11 bulan kemudian (24 Oktober 1826) dan 6 bulan kemudian Maria meninggal (24 April 1827). Kehilangan kedua orang yang begitu dikasihi membuat kegelapan mulai masuk dalam jiwanya. Bahkan, 3 bulan setelahnya ia mendapat kabar bahwa ayahnya telah meninggal 8 bulan yang lalu. Dampak psikologi dari kehilangan ini begitu merusakkan dirinya. Ia mulai mempertanyakan dedikasinya kepada Tuhan, ia mulai berpikir ini karena ambisinya, bukan karena kasih. Ia mulai membaca buku-buku mistis tentang pertapaan. Ia meninggalkan pekerjaan menerjemahkan perjanjian lama yang sedang ia kerjakan, ia mulai menjauh dari orang-orang. Ia bahkan meninggalkan gelar doktor yang telah ia terima. Ia memberikan semua uangnya kepada Dewan Lembaga Baptis. Bahkan pada Oktober 1828, ia membangun sebuah gubuh di tengah hutan, jauh dari rumah misi, dan pada 24 Oktober 1828, peringatan 2 tahun kematian Ann, ia hidup secara total terisolasi. Ia mengasingkan diri selama 40 hari di sebuah hutan yang berisi harimau dan menulis sebuah surat dalam keadaannya yang begitu sedih “Tuhan untukku adalah The Great Unknown, aku percaya kepadanya tapi aku tidak menemukan-Nya.”

Sebuah kejadian buruk bahkan terjadi lagi setelah itu. Saudara Judson, Elnathan, meninggal pada 8 Mei 1829 pada usia 35 tahun. Namun ironisnya, ini menjadi sebuah titik balik dari pemulihan Judson. Sepanjang tahun 1830, Judson mendaki keluar dari kegelapannya. Kondisinya semakin membaik dan pada tahun 1831, Judson mengalami pencurahan kerinduan rohani di tanah tersebut. Ia kembali menikah pada 10 April 1834 dengan Sarah Broadman, seorang janda misionaris dan pengajar bahasa Inggris di Myanmar. Pernikahan mereka dikaruniai 8 orang anak dan 5 orang anak diantaranya bertahan hidup. Namun, Sarah meninggal ketika mereka sedang dalam perjalanan kapal untuk kembali ke Amerika untuk mengobati sakit yang dialami oleh Sarah. Sarah meninggal dalam perjalanan, dikuburkan di sebuah pulau bernama St. Helena. Namun, berbeda dengan sebelumnya, Adoniram tidak mengalami depresi. Ia masih memiliki anak dan ia masih memiliki satu passion: untuk kembali dan memberikan hidupnya untuk Burma. Ia telah belajar bagaimana membenci dunia ini tanpa harus mengalami kepahitan dan depresi, ia telah mengerti bahwa penderitaannya telah mengajarkannya untuk melepaskan harapan yang berlebihan terhadap dunia ini. Kini, ia tidak lagi memiliki harapan dari dunia ini.

Adoniram kemudian menikah lagi dengan Emily Chubbuck pada 2 Juni 1846. Saat itu Adoniram berusia 57 tahun dan Emily berusia 29 tahun. Pernikahan mereka dikaruniai seorang anak. Namun kemudian, Adoniram terserang penyakit dan satu-satunya harapan supaya Adoniram dapat bertahan hidup adalah dengan mengirim Adoniram berlayar untuk berobat. Maka pada April 1850, mereka membawa Adoniram ke Aristide Marie menuju Isle of France bersama dengan satu orang teman, Thomas Ranney, yang menjaga Judson. Dan pada bukul 4.15 sore., hari Jumat 12 April 1850, Adoniram Judson meninggal dunia di tengah lautan, jauh dari keluarganya, dan jauh dari gereja di Burma. Sepuluh hari kemudian, Emily melahirkan anak kedua namun meninggal ketika lahir. Emily bahkan baru mengetahui kematian Adoniram 4 bulan kemudian. Emily kembali ke New England, dan meninggal 3 tahun kemudian pada usia 37 tahun.

Kehidupannya melawan sakit penyakit, melawan pemerintahan yang menentangnya, kematian berada begitu dekat dengan hidupnya, penderitaan karena kehilangan orang-orang yang ia kasihi, serta pelayanan yang tidak kunjung berbuah, namun kesetiaan dan hati yang terus berbelas kasihan kepada orang-orang Myanmar, membawa Judson menjadi seorang yang mengubahkan wajah dari Myanmar.

Alkitab terjemahan bahasa Myanmar sudah selesai, kamus sudah selesai, kerja kerasnya dalam belajar bahasa selama 12 jam setiap hari selama lebih dari 3 tahun memberikan hasil yang signifikan, ratusan petobat memimpin gereja, sekitar 100 gereja dibangun dan 7000 orang dibaptis sepanjang pelayanan Adoniram sekalipun pembaptisan pertama membutuhkan waktu 6 tahun setelah Adoniram tiba di Myanmar, dan bahkan dalam waktu 12 tahun, Judson dan timnya hanya melihat 18 pertobatan. Namun, saat ini ada sekitar 3700 kongres dari gereja Baptis di Myanmar yang merupakan jejak dari seorang pekerja yang penuh dengan kasih yang memilih untuk mati bagi dunia dan hidup bagi Kristus.

Salah seorang pemimpin gereja di Myanmar ketika ditanyakan apakah mengenal Adoniram Judson, memberikan jawaban yang luar biasa. “Iya, saya tau. Dan setiap kali seseorang menyebut namanya, air mata keluar dari mata kami karena kami tau apa yang ia dan keluarganya telah derita untuk kami. Kami mengetahui sakit penyakit yang mereka tanggung. Kami membaca mengenai Death March dan Death Prison (ketika Hudson di dalam penjara karena dianggap mata-mata oleh pemerintahan dan hampir mengalami hukuman mati). Kami mengetahui tentang istri-istrinya yang meninggal, anak-anaknya yang meninggal, dan rekan-rekan pelayanannya yang meninggal.” Edward (anak dari Adoniram) pernah mengatakan bahwa penderitaan dan keberhasilan berjalan bersamaan. Jika kamu berhasil tanpa penderitaan, itu karen orang lain sebelummu pernah mengalami penderitaan dan apabila kamu menderita tanpa mengalami keberhasilan, maka itu artinya orang lain setelahmu akan mengalami keberhasilan.

Judson pernah menulis kepada para kandidat misionaris di tahun 1832 “Ingatlah, sekumpulan besar orang-orang yang pergi misi ke daerah Timur meninggal tidak sampai 5 tahun setelah mereka meninggalkan tanah kelahiran mereka. Maut senantiasa mengintai perjalanan mereka.”

Benih yang telah jatuh ke tanah telah mati dan telah berbuah, Adoniram Judson telah memenuhi panggilan Tuhan yang begitu mulia atas hidupnya.

Sumber: Piper, John. Adoniram Judson. 2012. US: Desiring God Foundation

2 thoughts on “Adoniram Judson

Leave a comment